Namaku
Ridho Ilahi, teman-teman biasa memanggilku dodo gosong. Alasan mereka
memanggilku seperti itu mungkin karena kulitku yang hitam. Aku tak marah mereka
memanggilku seperti itu. Karena kata ustad Mahmud, Tuhan suka semua warna
kulit, jadi aku tidak khawatir. Aku sudah kelas 1 SD, wali kelasku pak Didi.
Aku suka beliau, karena beliau begitu mengerti apa kemauan siswanya. Datang ke
kelas, mengabsen kami, lalu izin keluar sebentar untuk menghabiskan sebatang
rokok yang masih menyala ditangannya, sedangkan kami ditugaskan untuk membaca
buku cetak. Dan beliau jarang memberikan kami PR, jadi kami bisa bermain
sepuasnya setelah pulang sekolah. Aku suka bermain, tidak jarang pantatku
terkena pukulan ranting pohon yang dilayangkan emak gara-gara waktu adzan
maghrib aku masih asyik menggiring bola.
Emakku orangnya baik, sangat sayang
kepadaku. Buktinya, waktu aku lahir dia memutuskan tidak membuang aku, atau
bahkan membunuhku seperti pada tayangan berita yang aku lihat di televisi rumah
Pak RT. Emak orangnya pemalu, jarang mengobrol dan bergaul dengan orang.
Apalagi, jika Bu Ida datang ke rumah kami menagih uang kontrakan, Emak pasti
langsung mencari tempat yang pas untuk bersembunyi, karena Emak sangat pemalu.
Bapak juga sangat sayang kepadaku,
Emak, Sita, Entin, dan Tuti. Bapak enggak suka sinar matahari, alasannya Bapak
tidak mau kulitnya seperti kulitku. Maka dari itu Bapak selalu pergi bekerja
ketika matahari belum datang, dan pulang ketika matahari sudah pulang terlebih
dahulu. Bapak bekerja di rumah Pak Restu. Pak Restu adalah ayah dari Adi, teman
sebangkuku. Pulang kerja Bapak selalu membawakan makanan untuk Aku dan Emak.
Sita, Entin, dan Tuti juga tidak pernah luput dari perhatian bapak. Bapak
sangat menyayangi ketiga kucingnya itu seperti anaknya sendiri.
***
“Do, ada Bu Ida di depan, bilang Emak
lagi ke warung ya” Emak menepuk pundakku, napasnya terengah-engah, kemudian
lari ke dapur. Bersembunyi. Aku menggeleng, kemudian membuka pintu menemui Bu
Ida, dan berkata seperti yang Emak perintahkan. Bu Ida tidak berkata apa-apa
hanya sedikit memonyongkan mulutnya, dan pergi. Aku masuk ke dalam rumah, bersiap
pergi ke mushola sebelum Emak mengeluarkan jurus andalannya. “Mak, Dodo berangkat ngaji” kataku dengan sedikit meninggikan
suaraku, agar Emak keluar dari tempat persembunyiannya. Emak datang, dengan
mendongakan kepala melihat ke arah jendela. Aku mencium tangannya, tercium
aroma terasi, sedap. “Assalamualaikum” aku mengucapkan salam dan membuka pintu.
“waalaikumussalam” jawab Emak terdengar samar-samar.
Aku buru-buru menempati shaf yang kosong,
dan menunaikan sholat. Aku mendengar suara tawa kecil disampingku, ku tengok
sebentar, ternyata Adi. Adi menepuk-nepuk pundak Isan yang berada satu shaf di
depannya, kemudian Adi pura-pura tidak melakukan. Sedangkan sarung Adi diplorotkan
ke bawah oleh Trisno. Entah apa yang mereka lakukan, aku putuskan untuk kembali
melihat gambar masjid yang ada di sajadahku.
Setelah sholat, kami selalu
berkumpul di teras musholah mengelilingi Ustad Mahmud, untuk mengaji dengannya
dan mendengarkan cerita-cerita tentang para Nabi, atau nasihat-nasihat beliau.
Kali ini beliau memberikan kami penjelasan tentang sholat. “Anak-anak, kalian
kalo sholat tidak boleh bercanda, sholat harus sungguh-sungguh karena Allah.
Tidak boleh tertawa, tengok kanan tengok kiri...” sementara Ustad Mahmud
menjelaskan, aku menengok ke arah Adi yang sedang cekikikan dengan Trisno. “Pakaian
yang kalian gunakan untuk sholat juga harus bersih dari najis” Aku kembali mendengarkan
ceramah Ustad Mahmud. “Kita akhiri dengan hamdalah” kata Ustad Mahmud menutup
ceramahnya. “Alhamdulillah” jawab kami serempak.
“Do, ingat tadi kata Pak Ustad?”
tanya Adi mengagetkanku. Aku menggeleng. “Ya ampun Do, baru tadi dibilangin.
Kata Pak Ustad, kalo sholat pakaiannya harus bersih Do” kata Adi. Aku
mengangguk dan menjawab “Pakaianku bersih kok, Baru dicuci Emak tadi pagi”.
“Bersih kok warnanya kusam gitu sarungnya, kaya enggak dicuci setahun” kata Adi
sambil tertawa, disusul dengan suara tawa Trisno dan Isan. “Do, Kamu minta
dibelikan sarung sana ke Emakmu” kata Trisno. Aku melihat ke arah sarungku.
Warnanya tak lagi seperti dulu, ada lubang kecil di bagian bawah sarung bekas
rokok bapak. Sepanjang jalan ke rumah, aku terus memikirkan apa yang dikatakan
Adi, Trisno, dan Isan.
Aku ketuk pintu rumah, dan
mengucapkan salam. Ku buka pintu rumah dan disambut dengan jawaban salam oleh
Emak dan Bapak yang sedang meyantap makanan. “Makan Do, sama ayam panggang nih”
kata Bapak. Aku hanya mengangguk, dan masuk ke dalam kamarku, kemudian keluar
menemui Emak dan Bapak untuk makan bersama. “Do, kok enggak semanget gitu
makannya. Biasanya kalo makan sama ayam panggang paling cepet abisnya” kata Bapak
menggodaku. Aku tidak menjawab, hanya melanjutkan makanku. Aku sebenarnya
sangat suka ayam panggang, jarang-jarang Bapak membawakan ayam panggang. Tapi
entah mengapa pikiranku masih dipenuhi dengan perkataan Adi dan teman-teman.
“Pak, belikan Dodo sarung baru buat ngaji ya” kataku kepada Bapak. “Iya, besok
kita ke pasar ya” jawab Bapak. Aku mengangguk sambil tersenyum lega.
Keesokan harinya, aku pulang dari
sekolah dan melihat Emak sedang mengobrol dengan Bu Ida. Ternyata Emak sudah
tidak malu-malu lagi bertemu dengan Bu Ida. Aku menoleh ke belakang, ada yang menepuk
pundakku. Ternyata Bapak. “Pak, ayo ke pasar” aku merengek kepada Bapak. “Iya,
tapi tidak sekarang ya nak, barusan uang Bapak sudah diberikan kepada Bu Ida
untuk membayar kontrakan rumah” katanya pelan. Aku menunduk, hampir saja aku
menangis. “Dodo ikut Bapak saja yuk ke rumah Adi, siapa tahu Pak Restu
memberikan upah pada Bapak hari ini, jadi kita bisa ke pasar beli sarung baru”
ucapnya sambil tersenyum. Aku hanya mengangguk dan mengikuti langkah Bapak
menuju rumah Pak Restu.
Sesampainya di sana aku membantu Bapak
memberikan makan pada kambing-kambing milik Pak Restu. Pak Restu memiliki peternakan
kambing dan sapi, dan Bapak bekerja disana untuk mengurusi kambing-kambing
milik Pak Restu. “Do, ambil rumput yang disebelah sana ya” kata Bapak sambil
menunjuk setumpuk rumput di dekat kandang sapi. Aku mengangguk, dan menuju
tempat rumput yang dimaksudkan oleh Bapak.
Aku menggangkat rumput tersebut,
tapi tanganku memegang sesuatu yang berbeda dari tekstur dan bentuk rumput yang
sebenarnya. Aku putuskan untuk meletakan rumput yang kupegang ke tempat semula,
dan mengambil benda tersebut. Ternyata sebuah amplop berwarna coklat. Ku
beranikan untuk membuka amplop tersebut. Mataku melotot selebar-lebarnya,
isinya uang kertas berwarna biru banyak sekali. Uang siapa ini, Aku terus
bergumam dalam hati dan terus memikirkannya. Entah mengapa satu pikiran yang
tidak pernah Aku pikirkan muncul dalam pikiranku. Sarung baru, iya uang ini
dapat digunakan untuk membeli sebuah sarung baru, dan sisanya bisa aku berikan
kepada Emak.
Hendak Aku memasukkan amplop tersebut
ke dalam saku celanaku, Aku teringat nasihat-nasihat Ustad Mahmud. “Mencuri itu
tidak boleh, pencuri temannya setan, setan ada di neraka, jika kalian mencuri
maka kalian akan masuk neraka.” Begitulah kata Ustad Mahmud. Akhirnya Aku
putuskan untuk memberikan amplop tersebut kepada Pak Restu. Benar saja amplop
itu milik Pak Restu, yang hilang dua hari yang lalu. Pak Restu berterima kasih
kepadaku dengan mengambil selembar uang dari amplop tersebut. Aku menolaknya
dengan halus.
Keesokan sorenya, Pak Restu datang
ke rumahku. “Do, ini buat kamu” katanya sambil memberikan bungkusan plastik
warna hitam. “Apa ini Pak?” tanyaku sambil menerimanya. Pak Restu hanya
tersenyum. Aku buka kantong plastik itu, isinya adalah sebuah sarung baru
berwarna coklat. Aku tersnyum dan memeluk Bapak yang berdiri di sebelahku.
“terima kasih Pak Restu” kataku sambil tersenyum dan mencium tangannya, tangan
bapak, dan tangan emak, kemudian pamit menuju musholah dengan sarung baru
pemberian Pak Restu.
0 komentar:
Posting Komentar